Menjadi Guru yang Relate: Kunci untuk Menciptakan Hubungan Positif dengan Siswa
- Kamis, 30 Januari 2025
- Hendriana,S.T

Oleh : Silvia Noviana N., S.Pd
Sebagai seorang pendidik yang lahir di era milenial, saya memiliki pengalaman unik yang membedakan perjalanan pendidikan saya dengan generasi yang lebih muda. Saya menyaksikan transformasi signifikan dalam metode pembelajaran seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi. Pengalaman saya, baik sebagai siswa maupun sebagai guru, menunjukkan banyak perbedaan dalam cara belajar dan mengajar. Meskipun saya tidak mengklaim diri sebagai pendidik yang sempurna atau paling ahli, saya berkomitmen untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Tulisan ini lahir dari kegelisahan saya ketika menghadapi tantangan yang dihadapi peserta didik di era digital saat ini. Realitas pendidikan menunjukkan bahwa banyak siswa mengalami learning loss—penurunan pengetahuan dan keterampilan—akibat pandemi COVID-19. Selain itu, mereka juga mengalami cultural shock akibat tuntutan pembelajaran daring yang mengharuskan penggunaan teknologi. Banyak siswa yang terpaksa putus sekolah karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang memerlukan perangkat dan kuota internet. Tantangan ini semakin kompleks dengan kesulitan guru dalam mengawasi murid yang belajar dari rumah. Meskipun pembelajaran mulai kembali ke format luring, proses belajar mengajar tidak berjalan dengan lancar. Perubahan kurikulum menambah beban tugas bagi guru, sementara banyak orang tua mengeluhkan kesulitan dalam mendidik anak-anak mereka di rumah. Tidak hanya learning loss, tetapi juga pembiasaan karakter dan budaya positif menjadi semakin sulit untuk diterapkan.
Pada prosesnya siapa yang tidak pernah mengeluh? Bahkan Saya sering bergumam, “Kok gini ya, perasaan dulu saya gak seperti ini. Dulu saya….” Pada akhirnya berujung pada membanding-bandingkan proses serta kemampuan belajar siswa dengan yang pernah saya alami dulu. Padahal sudah semestinya saya berpegang bahwa,”Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya”. Berjalannya waktu karna kegelisahan tersebut, saya melakukan penelitian kecil dengan pengamatan dan berbincang dengan murid saya di sekolah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk asesmen diagnostik dan survei lingkungan belajar siswa. Fungsinya adalah memperoleh informasi yang lengkap mengenai siswa mulai dari kelebihan, kesulitan belajar, metode pembelajaran yang disukai, latar belakang sosial budaya siswa, latar belakang ekonomi keluarga serta karakteristik siswa yang bisa dijadikan acuan dalam merencanakan pembelajaran yang efisien serta memberi tindak lanjut yang tepat. Salah satu hasil temuan menunjukkan bahwa yang dibutuhkan siswa saat berada di sekolah adalah guru yang relate dengan mereka.
Mengapa saya gunakan kata relate? Kata relate adalah istilah gaul yang sering digunakan oleh netizen belakangan ini dan banyak berseliweran di media sosial. Kata relate berasal dari Bahasa inggris yang secera verba memiliki tujuh arti, yaitu “memaparkan”, “mengisahkan”, “menceritakan”, “mempertalikan”, “menghubungkan”, “berkenaan”, dan “berhubungan dengan”. Dalam Bahasa gaul, relate dimaknai berhubungan, menunjukkan postingan yang diunggah melalui media sosial pernah atau dialami seseorang. Pendidikan yang merdeka berarti guru dengan murid memiliki perasaan yang gembira baik sebelum, saat, maupun setelah pembelajaran. Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan, guru tidak bisa membawa murid ke masanya dahulu. Tapi, guru harus menciptakan pengalaman belajar yang relate dengan muridnya yang juga sebagai generasi Z (lahir tahun 1997-2012). Dimana manga, game online, K-Pop/K-drama, TikTok maupun media sosial lainnya adalah pilihan yang mengasyikkan bagi mereka dibandingkan mendengarkan ceramah dari guru. Meskipun menjadi relate dengan murid bukan strategi jitu untuk menciptakan Pendidikan yang merdeka, hal ini patut dicoba oleh guru sebagai upaya bangkit lebih kuat.
Menjadi dekat dengan murid di era mereka adalah impian saya, namun hal ini harus dilakukan dengan batasan yang jelas agar pendidik tetap menjaga marwahnya. Menciptakan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan, di mana siswa dapat melepas penat dari masalah di rumah, adalah cita-cita yang ingin dicapai. Fokus utama seharusnya bukan hanya pada perubahan kurikulum, tetapi juga pada media, metode, dan strategi pembelajaran yang tepat, efisien, dan menyenangkan. Kolaborasi dengan pihak yang lebih berpengalaman dapat memberikan wawasan tentang tantangan zaman yang semakin kompleks. Memanfaatkan minat dan pengalaman siswa sebagai media pembelajaran dapat memudahkan proses mendidik. Selain penurunan kemampuan akademis, tantangan lain yang dihadapi adalah kemunduran karakter dan akhlak siswa, yang sering kali dipicu oleh konten kurang mendidik yang sulit terfilter. Oleh karena itu, kedekatan dengan murid tidak boleh disalah artikan sebagai sikap permisif. Sebagai pendidik, kita harus memahami porsi kedekatan yang tepat agar siswa merasa nyaman untuk menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi. Menyampaikan masalah kepada orang yang tepat lebih baik daripada terjerumus ke dalam perilaku menyimpang. Dengan demikian, proses belajar mengajar dapat benar-benar merdeka, fokus pada aksi nyata dan proses yang bermakna.