You need to enable javaScript to run this app.

FLEXING, GAYA HIDUP ATAU STRATEGI MARKETING?

  • Kamis, 30 Januari 2025
  • Hendriana,S.T
FLEXING, GAYA HIDUP ATAU STRATEGI MARKETING?

Oleh : Silvia Noviana N., S.Pd

Flexing merupakan kata gaul atau slang word dari Amerika yang artinya suka pamer. Secara definisi flexing adalah menyombongkan diri dengan memamerkan kemewahan atau kekayaan. Saat ini kita temui baik secara nyata maupun maya orang-orang yang melakukan personal branding (pencitraan terhadap diri sendiri) dengan memamerkan kemewahan. Nyatanya hal ini merupakan cara sukses untuk menarik perhatian publik baik untuk kepuasan maupun keuntungan pribadi. Baru-baru ini terdapat fenomena flexing yang sempat viral, yakni dilakukan oleh Simon Hayut atau sosok yang mengaku sebagai Simon Leviev dan berpura-pura sebagai miliarder.

Simon menipu para korban melalui aplikasi kencan Tinder dengan memasang foto-foto mewah untuk memikat banyak perempuan. Setelah mendapat perhatian perempuan, ia lalu mengajak kencan mahal dengan menaiki jet pribadi, makan malam dan menginap di hotel mewah. Begitu korban terpedaya oleh Simon, ia mulai melancarkan aksi penipuan dengan meminjam uang korban dengan dalih menghidari musuh bisnisnya. Dengan uang pinjaman tersebut, Simon membiayai hidupnya yang mewah dan foya-foya untuk mencari korban selanjutnya. Hal ini bisa juga disebut sebagai skema ponzi. Dikutip dari OCBCNISP, pengertian skema ponzi yaitu sebuah metode atau modus investasi palsu dari uang penipu sendiri atau invenstor berikutnya kepada investor sebelumnya. Fenomena ini kemudian diangkat menjadi film dokumenter yang berjudul “The Tinder Swindler” karya sutradara Felicity Morris yang tayang di Netflix dan menjadi film yang masuk Top 10 in Indonesia Today.

Tidak hanya itu, banyak fenomena flexing  yang secara tidak sadar kita temui bahkan kita nikmati. Sebelumnya, dalam tayangan serial Netflix yang berjudul “Single’s Inferno” juga terdapat fenomena flexing yang dilaukan oleh salah satu kontestannya.  Single’s inferno sendiri  adalah reality show Korea Selatan yang mengundang para lajang untuk dipertemukan di sebuah pulau dan berkompetisi menemukan cinta. Dalam serial ini  terdapat kontestan  bernama Song Jia “Free Zia” yang tersandung kontroversi karena memakai barang branded palsu untuk acara komersial. Diberbagai platform media banyak diperlihatkan bahwa Song Jia memang membranding dirinya sebagai sosok yang suka menggunakan barang branded, dan tinggal di apartemen mahal. Tidak hanya dalam reality show, ia juga eksis membuat konten kecantikan  untuk channel YouTube dan postingan instagramnya. Setelah mendapat sorotan utama karna visual dan citra gadis kaya raya.  Song jia makin viral dan sering diundang di banyak acara. Jumlah follower instagram dan subscriber channel YouToubenya pun meningkat pesat. Selain kasus penggunaan barang branded palsu, Jia juga berbohong mengenai apartemen yang ditempatinya. Apartemen mewah tersebut ternyata bukan miliknya tapi disewa bulanan oleh agensinya. Namun sayang setelah kontroversinya viral, Song Jia memosting surat permintaan maaf dan menghapus seluruh kontennya serta berencana pensiun dari dunia hiburan.

Di Indonesia sendiri banyak kita kenal crazy rich atau orang kaya dengan sebutan Sultan, yang berlomba-lomba menunjukkan kemewahan. Mulai dari memperlihatkan saldo rekening, menggunakan barang branded, jet pribadi, melakukan give away dan berbagai kekayaan lainnya. Hal tersebut kemudian menjadi konten yang dipertontonkan kepada publik. Kegiatan mempertontokan, menunjukkan, memamerkan kemewahan atau kekayaan itulah kita sebut sebagai flexing. Tanpa kita sadari   flexing bisa menjadi tolak ukur gaya hidup yang ditiru oleh berbagai kalangan serta menjadikan flexing sebagai strategi pemasaran untuk mendapat endorsement atau keuntungan lainnya.

Semakin terlihat kaya maka rate harga atau nilai jual semakin tinggi. Kemudian setelah memperoleh keuntungan yang banyak, maka semakin merasa berhak memperoleh privilege. Seorang akademisi dan praktisi bernama Rhenaldi Kasali dalam salah satu konten YouTubenya mengakatakan bahwa Flexing ternyata bisa “memancing” keberuntungan.  Kaya boong-boongan yang dipamerkan ini dipercaya oleh kaum milineal dan ditiru luas. Lanjut ia memberi contoh ada seorang wanita bahkan berpura-pura menjadi bagian dari kaum sosialita untuk dapat menggaet pria kaya yang tertipu akan kemewahan yang disuguhkan.

Rupanya flexing bisa menjadi gaya hidup dan strategi marketing yang dilakukan untuk meraih kesuksesan. Banyak orang berbondong-bondong melakukan flexing demi terkenal dan mencapai tujuannya.  Dari beragam contoh fenomena di atas, flexing terbukti ampuh untuk menarik perhatian. Bayangkan saja siapa yang tidak tergiur dengan sosok  bergelimang harta, hidup serba berkecukupan, mudah dalam mendapatkan segala sesuatu. Di berbagai media sosial konten menunjukkan kemewahan ini laku dan menjadi favorit para  netizen. Padahal kita sama sekali tidak tahu apakah kekayaan dan kemewahan yang ditampilkan tersebut nyata atau palsu. Meskipun terkadang ada orang yang melakukan flexing  dengan dalih ingin menginspirasi, membantu sesama, meningkatkan percaya diri bahkan mengapresiasi suatu pencapaian. Namun jika dilaukan secara berlebihan bisa menjadi harapan semu bagi penontonnya untuk bisa sukses secara instan tanpa memikirkan proses kerja keras.

#GayaHidupKekayaan,#MediaSosial,#Influencer,#PemasaranDigital,#KehidupanMewah,#Endorsement,#GenerasiMilenial,#StrategiPemasaran

 

Bagikan artikel ini:
YETI SURTINI, S.Pd., M.Pd.

- Kepala Sekolah -

                                       …

Berlangganan
Banner